var adfly_protocol = 'https';

Wednesday, June 27, 2012

on Leave a Comment

KEPEMILIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Nadhariyah Milkiyah ( Teori kepemilikan)
1.    Pengertian kepemilikan
Milk menurut lughah ialah :
احتواء الشيء والقدرة على الإستبداد به
“ Memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya”.
Milk menurut istilah ialah :
اختصاص حاجز شرعا يسوغ صاحبه التصررف إلا لمانع
 “ Sesuatu  ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut  syara’ yang membenarkan si pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang yang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang”.[1]
2.    Sebab – sebab kepemilikan
Sebab – sebab  tamalluk (memiliki) yang ditetapkan syara’ ada empat :
a.       Ihrazul mubahat : memiliki benda- benda yang boleh dimiliki atau menempatkan sesuatu yang boleh dimiliki di sesuatu tempat untuk dimiliki
b.      Al uqud ( Aqad )
c.       Al-khalafiyah ( pewarisan )
d.      Attawaludu minal mamluk ( berkembang biak )
3.    Syarat – syarat kepemilikan
a.       Benda itu tidak dikuasai orang lain lebih dahulu
b.      Maksud tamalluk (untuk memiliki)
B.  Akad
1.      Pengertian Akad
Menurut bahasa ‘Aqad mempunyai beberapa arti[2], antara lain :
a.    Mengikat (  الرَّبَط ), yaitu :
جمع طرف حبلين و يشد احد هما بالأ خرحتى يتصلا فيصبحا كقطعة واحدة
“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
b.    Sambungan(    عقدة  )yaitu :
المو صل الذى يمسكهما و يوثقهما
“ Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
c.    Janji ( العهد  ) sebagaimana dijelaskan dalam alqur’an :
4n?t/ ô`tB 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ/ 4s+¨?$#ur ¨bÎ*sù ©!$# =ÅsムtûüÉ)­GßJø9$# ÇÐÏÈ  
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” ( Q. S. Ali Imran : 76 )
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ
 uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” ( Q.S. Al-Maidah : 1)
Menurut Istilah ( terminologi ) yang dimaksud dengan akad adalah :
ارتباط لإيجا ب بقبو ل على وجه مشر وع يثبت الثرا ضى
“ Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.”
مجموع ايجا ب اً حد الطر فين مع قبول الأخراوالكلام الوحدالقا ئم مقامهما
“ Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”
مجموع الإيجاب والقبول إدعا يقوم مقا مهمامع ذلك الإرتباط الحكمى
“Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang disertai kekuatan hukum.”
ربط أجزاء التصرف بالإ يجاب والقبول شرعا
“ Ikatan atas bagian – bagian tasharuf menurut syara’ dengan cara serah terima.”[3]
Akad menurut istilah fuqaha,ialah :
ارتباط الإيجا ب بقبول على وجه مشروع يثبت التراضى
“ Perkatan ijab dengan kabul secara yang disyari’atkan agama nampak, bekasannya pada yang diakadkan itu”.[4]
2.      Macam – macam Aqad
Macam – macam aqad terbagi menjadi tiga, yaitu :
a.       Aqad Munjiz
Aqad munjiz adalah aqad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad yaitu,pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
b.      Aqad Mu’alaq
Aqad Mu’alaq ialah Aqad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam aqad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c.       Aqad Mudhaf
Aqad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang  pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.
Adapun para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dan dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari keabsahannya menurut syara’ , akad terbagi 2 yaitu :
1.      Akad shahih
Yaitu akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Akad shahih dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu :
a.       Akad yang nafidz (sempurna untuk dilaksanakan).
Ialah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b.      Akad mawquf
Ialah akad yang kan dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti anak kecil yang mumayyiz.
2.      Akad yang tidak shahih
Yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya[5]
3.      Rukun – rukun ‘Aqad
Rukun – rukun aqad, diantaranya ialah :
a.       ‘Aqid
‘Aqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang.
b.      Ma’qud ‘alaih
Ma’qud  ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual-beli, dalam akad hibah ( pemberian ), dalam akad  gadai utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
c.       Maudhu’ al ‘aqad
Maudhu’ al ‘aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
d.      Shighat al ‘aqad
Shighat al ‘aqad ialah ijab dan kabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sighat aqad, ialah :
1.      Sighat aqad harus jelas pengertiannya
2.      Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3.      Menggambarkan kesungguhan, kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakut- takuti oleh orang lain.[6]
Para ulama fiqih menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam aqad, yaitu :
1.      Dengan cara tulisan ( kitabah) misalnya : dua ‘Aqid berjauhan tempatnya, maka ijab qabul boleh dengan kitabah. Dengan ketentuan, kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas.
2.      Isyarat, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab qabul dengan bahasa, orang yang pandai tulis baca, tidak mampu mengadakan ijab dan qabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab qabul dengan ucapan dan tulisan. Sesuai dengan kaidah
اٌلإشارة المعهودة لأخرس كالبيان باللسان
Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah
3. Ta’athi ( saling memberi ) seperti, seseorang yang melakuukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalannya. Menurut sebagian ulama, jual beli tersebut tidak dibenarkan.
4. Lisan al-hal menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain, kemudian ia pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad idha’ ( titipan) antara orang yang meletakan barang dan menghadapi barang titipan ini dengan jalan dhalalah al- hal.
4.      Syarat –syarat Aqad
Syarat- syarat terjadinya akad ada dua macam :
a.       Syarat – syarat yang bersifat umum, yaitu syarat- syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat –syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut :
-          Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak ( ahli ).
-          Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya
-          Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan ‘Aqid yang memiliki barang
-          Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’ , seperti jual beli mulasamah ( saling merasakan)
-          Akad memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rohan ( gadai ) dianggap sebagai imbangan amanah ( kepecayaan)
-          Ijab itu berjalan terus tidak dicabut sebelum terjadi qabul
-          Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.[7]
b.      Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi ( tambahan ) yang harus ada di samping syarat- syarat yang umum
5.      Hikmah- hikmah akad
Diadakannya akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain :
a.       Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu.
b.      Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar’i.
c.       Akad merupakan “ payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.


[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, ( Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001),h. 11
[2] H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,( jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 44
[3] H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 44
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, ( Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001),h. 11
[5] Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.,  Fiqh Muamalat,( jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010),h.55
[6] Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.,  Fiqh Muamalat,( jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010),h.53
[7] Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.,  Fiqh Muamalat,( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010),h.65

0 comments :

Post a Comment