PEMBAHASAN
A. Nadhariyah Milkiyah ( Teori kepemilikan)
1. Pengertian
kepemilikan
Milk menurut lughah ialah :
احتواء
الشيء والقدرة على الإستبداد به
“ Memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara
bebas terhadapnya”.
Milk
menurut istilah ialah :
اختصاص
حاجز شرعا يسوغ صاحبه التصررف إلا لمانع
“ Sesuatu ikhtisas yang menghalangi yang lain,
menurut syara’ yang membenarkan si
pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang yang miliknya sekehendaknya,
kecuali ada penghalang”.[1]
2. Sebab
– sebab kepemilikan
Sebab – sebab tamalluk (memiliki) yang ditetapkan syara’
ada empat :
a. Ihrazul
mubahat : memiliki benda- benda yang boleh dimiliki atau menempatkan sesuatu
yang boleh dimiliki di sesuatu tempat untuk dimiliki
b. Al
uqud ( Aqad )
c. Al-khalafiyah
( pewarisan )
d. Attawaludu
minal mamluk ( berkembang biak )
3. Syarat
– syarat kepemilikan
a. Benda
itu tidak dikuasai orang lain lebih dahulu
b. Maksud
tamalluk (untuk memiliki)
B. Akad
1. Pengertian
Akad
Menurut
bahasa ‘Aqad mempunyai beberapa arti[2],
antara lain :
a. Mengikat
( الرَّبَط
), yaitu :
جمع طرف حبلين و يشد احد
هما بالأ خرحتى يتصلا فيصبحا كقطعة واحدة
“Mengumpulkan
dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung,
kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.”
b. Sambungan( عقدة )yaitu :
المو
صل الذى يمسكهما و يوثقهما
“
Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
c. Janji
( العهد
) sebagaimana dijelaskan dalam alqur’an :
4’n?t/
ô`tB
4’nû÷rr&
¾ÍnωôgyèÎ/
4’s+¨?$#ur
¨bÎ*sù
©!$#
=Åsãƒ
tûüÉ)GßJø9$#
ÇÐÏÈ
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang
menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.” ( Q. S. Ali Imran : 76 )
$yg•ƒr'¯»tƒ
šúïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qèù÷rr&
ÏŠqà)ãèø9$$Î/
4 ôM¯=Ïmé&
Nä3s9
èpyJŠÍku5
ÉO»yè÷RF{$#
žwÎ)
$tB
4‘n=÷Fãƒ
öNä3ø‹n=tæ
uŽöxî
’Ìj?ÏtèC
ωøŠ¢Á9$#
öNçFRr&ur
îPããm
3 ¨bÎ)
©!$#
ãNä3øts†
$tB
߉ƒÌãƒ
ÇÊÈ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.” ( Q.S. Al-Maidah : 1)
Menurut
Istilah ( terminologi ) yang dimaksud dengan akad adalah :
ارتباط
لإيجا ب بقبو ل على وجه مشر وع يثبت الثرا ضى
“ Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
keridhaan kedua belah pihak.”
مجموع
ايجا ب اً حد الطر فين مع قبول الأخراوالكلام الوحدالقا ئم مقامهما
“
Berkumpulnya serah terima di antara dua pihak atau perkataan seseorang yang
berpengaruh pada kedua pihak.”
مجموع
الإيجاب والقبول إدعا يقوم مقا مهمامع ذلك الإرتباط الحكمى
“Terkumpulnya
persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang
disertai kekuatan hukum.”
ربط
أجزاء التصرف بالإ يجاب والقبول شرعا
“
Ikatan atas bagian – bagian tasharuf menurut syara’ dengan cara serah terima.”[3]
Akad
menurut istilah fuqaha,ialah :
ارتباط الإيجا ب بقبول
على وجه مشروع يثبت التراضى
“
Perkatan ijab dengan kabul secara yang disyari’atkan agama nampak, bekasannya
pada yang diakadkan itu”.[4]
2. Macam
– macam Aqad
Macam
– macam aqad terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Aqad
Munjiz
Aqad munjiz adalah aqad
yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang
diikuti dengan pelaksanaan akad yaitu,pernyataan yang tidak disertai dengan
syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
b. Aqad
Mu’alaq
Aqad Mu’alaq ialah Aqad
yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
aqad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya
pembayaran.
c. Aqad
Mudhaf
Aqad Mudhaf ialah akad
yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang mengenai penanggulangan
pelaksanaan akad, pernyataan yang
pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini
sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya
waktu yang telah ditentukan.
Adapun para ulama fiqih
mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dan dilihat dari beberapa segi. Jika
dilihat dari keabsahannya menurut syara’ , akad terbagi 2 yaitu :
1.
Akad shahih
Yaitu
akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Akad shahih dibagi
lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu :
a.
Akad yang nafidz (sempurna untuk
dilaksanakan).
Ialah
akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannya.
b.
Akad mawquf
Ialah
akad yang kan dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak
memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti anak
kecil yang mumayyiz.
2.
Akad yang tidak shahih
Yaitu
akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya[5]
3. Rukun
– rukun ‘Aqad
Rukun
– rukun aqad, diantaranya ialah :
a. ‘Aqid
‘Aqid ialah orang yang
berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang
terdiri dari beberapa orang.
b. Ma’qud
‘alaih
Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan,
seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual-beli, dalam akad hibah (
pemberian ), dalam akad gadai utang yang
dijamin seseorang dalam akad kafalah.
c. Maudhu’
al ‘aqad
Maudhu’ al ‘aqad ialah
tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan
pokok akad.
d. Shighat
al ‘aqad
Shighat al ‘aqad ialah
ijab dan kabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang
yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan
qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan
setelah adanya ijab. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam sighat aqad, ialah :
1. Sighat
aqad harus jelas pengertiannya
2. Harus
bersesuaian antara ijab dan qabul
3. Menggambarkan
kesungguhan, kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan
tidak karena diancam atau ditakut- takuti oleh orang lain.[6]
Para ulama fiqih
menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam aqad, yaitu :
1. Dengan
cara tulisan ( kitabah) misalnya : dua ‘Aqid berjauhan tempatnya, maka ijab
qabul boleh dengan kitabah. Dengan ketentuan, kitabah tersebut dapat dipahami
kedua belah pihak dengan jelas.
2. Isyarat,
misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab qabul dengan bahasa,
orang yang pandai tulis baca, tidak mampu mengadakan ijab dan qabul dengan
tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan
ijab qabul dengan ucapan dan tulisan. Sesuai dengan kaidah
اٌلإشارة
المعهودة لأخرس كالبيان باللسان
Isyarat bagi orang bisu
sama dengan ucapan lidah
3.
Ta’athi ( saling memberi ) seperti, seseorang yang melakuukan pemberian kepada
seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa
ditentukan besar imbalannya. Menurut sebagian ulama, jual beli tersebut tidak
dibenarkan.
4.
Lisan al-hal menurut sebagian ulama, apabila seseorang meninggalkan
barang-barang dihadapan orang lain, kemudian ia pergi dan orang yang ditinggali
barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad idha’ (
titipan) antara orang yang meletakan barang dan menghadapi barang titipan ini
dengan jalan dhalalah al- hal.
4. Syarat
–syarat Aqad
Syarat-
syarat terjadinya akad ada dua macam :
a. Syarat
– syarat yang bersifat umum, yaitu syarat- syarat yang wajib sempurna wujudnya
dalam berbagai akad. Syarat –syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai
macam akad sebagai berikut :
-
Kedua orang yang
melakukan akad cakap bertindak ( ahli ).
-
Yang dijadikan
objek akad dapat menerima hukumnya
-
Akad itu
diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya,
walaupun dia bukan ‘Aqid yang memiliki barang
-
Janganlah akad
itu akad yang dilarang oleh syara’ , seperti jual beli mulasamah ( saling
merasakan)
-
Akad memberikan
faedah, sehingga tidaklah sah bila rohan ( gadai ) dianggap sebagai imbangan
amanah ( kepecayaan)
-
Ijab itu
berjalan terus tidak dicabut sebelum terjadi qabul
-
Ijab dan qabul
mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab telah berpisah sebelum
adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.[7]
b. Syarat-syarat
yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya ada dalam sebagian
akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi ( tambahan ) yang harus
ada di samping syarat- syarat yang umum
5. Hikmah-
hikmah akad
Diadakannya
akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain :
a. Adanya
ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi atau
memiliki sesuatu.
b. Tidak
dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah
diatur secara syar’i.
c. Akad
merupakan “ payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain
tidak dapat menggugat atau memilikinya.
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shidieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, ( Semarang : PT. Pustaka Rizki,
2001),h. 11
[2] H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,( jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 44
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Pengantar
Fiqh Muamalah, ( Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001),h. 11
[5] Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk., Fiqh Muamalat,( jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2010),h.55
[6] Prof. Dr. H. Abdul Rahman
Ghazaly,MA,dkk., Fiqh Muamalat,( jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2010),h.53
[7] Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk., Fiqh Muamalat,( Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010),h.65
0 comments :
Post a Comment