KEPEMILIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
DEFINISI
Secara etimologi, Kepemilikan (al-milk) berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya penguasaan terhadap sesuatu. Kepemilikan atau al-milk biasa juga disebut dengan hak milik atau milik saja. Para ahli fiqh mendefinisikan hak milik (al-milk)
sebagai ”kekhususan seseorang terhadap harta yang diakui syari’ah,
sehingga menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap suatu harta
tersebut, baik memanfaatkan dan atau mentasharrufkannya”.
Secara terminology, ada beberapa definisi Al Milk yang dikemukakan oleh para fukaha.
Wahbah al-Zuhaily memmberikan definisi al-milk (hak milik) sebagai berikut :
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف ابتداء الا لمانع شرعي
“Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy”.
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, hlm.37
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف ابتداء الا لمانع شرعي
“Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut. Pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy”.
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, hlm.37
Muhammad Abu Zahro mendefinisikannya sebagai berikut :
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء
“Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut dan memungkinkan pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy”.
Muhammad Abu Zahroh, Al-Milkiyyah wa Nazhariyatul al’Aqd fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Mesir dar al-Fikri al-‘Araby, 1962, hlm. 15.
اختصاص بالشيء يمنع الغير منه و يمكن صاحبه من التصرف فيه ابتداء
“Hak milik ialah suatu kekhususan terhadap sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut dan memungkinkan pemiliknya bebas melakukan tasharruf kecuali ada halangan syar’iy”.
Muhammad Abu Zahroh, Al-Milkiyyah wa Nazhariyatul al’Aqd fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Mesir dar al-Fikri al-‘Araby, 1962, hlm. 15.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui cara-cara
yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus
antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus
yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini
memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai
dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i
seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil
sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
KONSEP DASAR KEPEMILIKAN
“Kepuyaan Allah lah kerajaan di langit dan di bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan dia maha kuasa atas segala sesuatu” (Al Maidah : 120)
Ayat
di atas merupakan landasan dasar tentang kepemilikan dalam Islam. Ayat
diatas menunjukan bahwa Allah adalah pemilik tunggal apa-apa yang ada
di langit dan dibumi dan tidak ada sekutu bagi Nya. Lantas Allah
memberikan atau menitipkan kekuasaan bumi pada manusia, agar manusia
mengelola dan memakmurkannya.
“Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.”(QS. An-Nuur : 33)
“Dan nafkahkanlah apa saja. yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya. “(QS. Al-Hadid : 7)
“Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu.” (QS. Nuh : 12)
“Dan nafkahkanlah apa saja. yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya. “(QS. Al-Hadid : 7)
“Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu.” (QS. Nuh : 12)
Dari
sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang status
asal kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada
diri-Nya, dimana Allah SWT menyatakan “Maalillah”
(harta kekayaan milik Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan
tentang perubahan kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan
kepemilikan tersebut kepada manusia. Dimana Allah SWT menyatakan dengan
firman-Nya :
“Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. “(QS. An-Nisaa` : 6)
“Ambillah dari harta-harta mereka. “(QS. Al-Baqarah : 279)
“Dan harta-harta yang kalian usahakan.” (QS. At-Taubah : 24)
“Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa.” (QS. Al-Lail :11)
“Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. “(QS. An-Nisaa` : 6)
“Ambillah dari harta-harta mereka. “(QS. Al-Baqarah : 279)
“Dan harta-harta yang kalian usahakan.” (QS. At-Taubah : 24)
“Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa.” (QS. Al-Lail :11)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan kepada manusia (istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia secara keseluruhan. Sehingga manusia memiliki hak milik tersebut bukanlah sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab pada dasarnya manusia hanya diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut. Oleh karena itu agar manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan (hak milik), maka Islam memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT kepada orang tersebut untuk memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh karena itu, harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang apabila orang yang bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT untuk memilikinya.
UNSUR-UNSUR KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
Dalam
Islam terdapat tiga unsur-unsur kepemilikan, yaitu kepemilikan individu
(private property), kepemilikan umum (public property), dan kepemilikan
Negara (state property).
· KEPEMILIKAN INDIVIDU (PRIVATE PROPERTY)
Kecenderungan
pada kesenangan adalah fitrah manusia, Allah menghiasi pada diri
manusia kecintaan terhadap wanita, anak-anak, dan harta benda.
Sebagaimana Allah suratkan dalam Al Qur’an,
“Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenanganhidup didunia, dan disisi Allah lah
tempat kembali yang baik” (Q.S Ali Imran:14)
Dalam
ayat diatas dengan sangat jelas Allah menjelaskan bahwa kecenderungan
manusia terhadap kesenangan adalah fitrah manusia. Oleh karena itu,
manusia terdorong untuk memperolehnya dan berusaha untuk mendapatkannya.
Hal ini sudah menjadi suatu keharusan. Dari sinilah, maka usaha manusia
untuk memperoleh kekayaan adalah suatu hal yang fitri, dan merupakan
suatu yang pasti dan harus dilakukan.
Islam
adalah agama yang fitrah, dan tidak ajaran yang terdapat didalamnya
bertentangan dengan fitrah manusia. Islam menghargai kecenderungan
manusia pada hal-hal yang indah dan menyenagkan. Oleh karena itu, setiap
usaha dan upaya yang melarang manusia untuk memperoleh kekayaan adalah
sangat bertentangan dengan fitrah. Begitu juga setiap usaha membatasi
kekayaan manusia dengan takaran tertentu juga bertentangan dengan
fitrah. Islam tidak dihalng-halangi untuk memperoleh kekayaan
sebanyak-banyaknya. Manusia diberiakn kebebasan sebesar-besarnya dalam
memperoleh kekayaan. Hanya saja, Syariat membatasi dalam hal cara
memperolehnya. Syariat telah menentukan aturan-aturan dalam memperoleh
kekayaan. Setiap orang mempunyai tingkat kemampuan dan kebutuhan yang
berbeda-beda dalam memenuhi kebutuhannya.apa bila manusia diberiakan
kebebasan cara memperolehnya, maka hanya aka nada segelintir orang yang
memonopoli kekayaan, orang-orang yang lemah akan terhalang untuk
memperolehnya, sementara orang-orang rakus yang akan menguasainya.
Oleh
karena itu, kepemilikan akan suatu barang harus ditentukan dengan
mekanisme tertentu. Sedangkan, pelarang terhadap kepemilikan barang
harus ditentang, karena bertentangan dengan fitah manusia. Pelarangan
kepemilikan berdasarkan kuantitas nya juga harus ditentang, karena akan
melemahkan semangat untuk memperoleh kekayaan. Begitu juga, kebebasan
dalam memperolehnya juga akan menyebabkan kesenjangan social pada
masyarakat.
Sungguh
Islam adalah agama solusi. Islam memperbolehkan kepemilikan individu
dan memberikan batasan mekanisme dalam memperolehnya, bukan membatasi
kuantitas. Cara ini sangat sesuai dengan fitrah manusia, ia akan mampu
mengatur hubungan antar manusia denga terpenuhinya kebutuhan.
· KEPEMILIKAN UMUM (PUBLIC PROPERTY)
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas masyarakat
untuk sama-sama memanfaatkan suatu barang atau harta. Benda-benda yang
termasuk kedalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang
telah dinyatakan oleh Asy-Syari’ memang diperuntukan untuk suatu
komunitas masyarakat. Benda-benda yang termasuk kedalam kepemilkan umum
sebagai berikut:
1) Merupakan
fasilitas umum, kalau tidak ada didalam suatu negri atau suatu
komunitas maka akan menyebabkan sengketa dalam mencarinya.
2) Barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya.
3) Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Rasulullah
telah menjelaskan akan ketentuan benda-benda yang termasuk ke dalam
kepemilikan umum. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah bersabda :
“Kaum Muslimin bersekutu dalam tiga hal : air, padang dan api “. (HR. Abu Dawud)
Anas
meriwayatkan hadist dari Ibnu Abbas tersebut dengan menambahkan : wa
samanuhu haram (dan harganya haram ). Dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda :
“Ada tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun): air, padang dan api “. (HR.Ibnu Majah)
Mengenai barang tambang, dapat diklasifikasikan ke dalam dua: (1)
Barang tambang yang terbatas jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah
besar menurut ukuran individu. (2) Barang tambang yang tidak terbatas
jumlahnya. Barang tambang yang terbats jumlah dapat dimiliki secara
pribadi. Adapun barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, yang tidak
mungkin dihabiskan, adalah termasuk milik umum, dan tidak boleh
dimiliki secara pribadi. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin
hamal:
“Sesungguhnya
ia pernah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang
garamnya. Lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang dari
majlis tersebut bertanya, “wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang
engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu
yang bagaikan air yang mengalir.” Rasululllah kemudian bersabda, “kalau
begitu, cabut kembali tambang itu darinya.” (HR. At Tirmidzi)
· KEPEMILIKAN NEGARA (STATE PROPERTY)
Kepemilikan
Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim, sementara
pengelolaannya menjadi wewenang Negara. Asy Syari’ telah menentukan
harta-harta sebagai milik Negara; Negara berhak mengelolanya sesuai
denga pandangan dan ijtihad. Yang termasuk harta Negara adalah fai,
Kharaj, Jizyah dan sebagainya. Sebab syariat tidak pernah menentukan
sasaran dari harta yang dikelola. Perbedaan harta kepemilikan umum dan
Negara adalah, harta kepemilikan umum pada dasarnya tidak dapat di
berikan Negara kepada individu. Sedang harta kepemilikan Negara dapat di
berikan kepada individu sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
SEBAB-SEBAB KEPEMILIKAN
Harta (al maal) adalah apa saja yang bisa menjadi kekayaan, apapun bentuknya. Sedang, yang dimaksud dengan sebab kepemilikan (sabab at tamalluk)
adalah sebab yang bisa menjadikan seseorang memiliki harta, yang
sebelumnya bukan memjadi miliknya. Adapun sebab-sebab pengembangan
kepemilikan adalah perbanyakan kuantitas harta yang sudah dimiliki.
A. Bekerja
Kata
bekerja sangat luas maknanya, beraneka ragam jenisnya, bermacam-macam
bentuknya. Allah telah menentukan bentuk-bentuk kerja dan jenisnya yang
layak untuk di kerjakan sebagai sebab kepemilikan. Dalam hukum-hukum
syariat sudah sangat jelas ketentuan-ketentuan akan hal ini.
Bentuk-bentuk bekerja yang dijadikan sebagai sebab kepemilikan adalah
sebagai berikut:
1) Menghidupkan tanah mati (ihya’ al mawat)
Tanah
mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan sudah tidak
dimanfaatkan lagi oleh seorang pun. Yang dimaksud menghidupkannya adalah
mengolahnya, menanaminya, atau mendirikan bangunan di atasnya. Oleh
karena itu, setiap usaha untuk menghidupi tanah mati adalah telah cukup
menjadikan tanah tersebut miliknya. Dari Umar bin Khatab, Rasulullah
bersabda: “ siapa saja yang menghidupi tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” (H.R Al Bukhari). Di hadist lain Rasulullah mempertegas kembali, Rasulullah besabda: “ siapa saja yang memagari sebidang tanah, maka tanah itu menjadi miliknya. (H.R Ahmad ).
“ siapa saja yang lebih dulu sampai pada sesuatu (tempat disebidang
tanah), sementara tidak ada seorang muslim pun sebelumnya yang sampai
padanya, maka sesuatu itu menjadi miliknya”. (H.R At Thabrani).
Dalam
hal ini tidak ada pembedaan antara muslim dan kafir dzimmi, karena
dalam hadist tersebut bersifat mutlak. Kepemilikan atas tanah tersebut
memiliki syarat, yanah tersebut harus dikelola selama tiga tahun sejak
tanah itu dibuka dan terus-terus digarap manfaatnya. Apabila tanah
tersebut belum dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka
atau dibiarkan selam tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah
tersebut hilang. Hal ini pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin
Khatab, dari penuturan Amr bin Syu’aib bahwa Khalifah Umar membatasi
masa pemagaran selama tiga tahun. Umar bin Khatab berkata: “ orang yang
memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya ) tidak memiliki
hak atas tanah itu setelah tiga tahun”.
2) Menggali kandungan bumi
Yang
termasuk dalam kategori bekerja adalah menggali kandungan bumi. Jenis
kandungan bumi yang dalam kategori ini bukan merupakan kebutuhan
mendasar suatu komuitas masyarakat, atau yang disebut rikaz. Menurut
ketentuan fikih, seorang yang menggali kandungan bumi berhak atas 4/5
bagian, sedang 1/5 bagian sisanya harus dikeluarkan sebagai Khumus.
Ketentuan harta rikaz adalah apabila harta yang tersimpan didalam tanah
tersebut asalnya karena tindakkan seseorang dan jumlahnya terbatas dan
tidak sampai pada jumlah yang didibutuhkan oleh suatu komunitas dalam
jumlah yang sangat besar. Jika suatu harta dari dalam tanah yang tidak
diusahakan oleh seseorang dan dibutuhkan oleh suatu komunitas, maka
harta seperti ini bukan rikaz, tapi merupakan harta kepemilikan umum.
Yang juga bisa disamakan dengan harta kandungan bumi, adalah harta dari
udara, seperti oksigen dan nitrogen. Begitu juga dengan harta lainnya
yang diperbolehkan oleh syariat untuk dimiliki.
3) Berburu
Yang
juga termasuk kedalam kategori bekerja adalah berburu. Yang termasuk
kedalam berburu yang diperbolehkan dalam Islam adalah berburu seluruh
jenis Ikan, mutiara, permata dan hasil buruan laut lainnya. Begitu juga
dengan buruan hewan-hewan darat dan udara, seperti berburu burung,rusa
dan lain-lain. Ketentuanya binatang buruan adalah binatang bebas,
artinya binatang atau harta tersebut tidak dimiliki oleh orang lain, dan
merupakan kepemilikan umum. Sebagaimana Allah berfirman akan kebolehan
dalam berburu:
“Dihalalkan
bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut
sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan. Diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat
selama sedang ihram.” (Q.S al Maidah : 96)
“Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah kalian berburu” (Q.S Al Maidah : 2)
“Mereka
bertanya kepada mu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah:
“Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan buruan yang ditangkap oleh
binatang buruan yang telah kalian latih untuk berburu menurut apa yang
telah Allah ajarkan kepada kalian. Karena itu, makanlah dari apa yang
ditangkapnya untuk kalian dan sebutlah nama Allah atas binatang buruan
itu (waktu melepasnya).” (Q.S Al Maidah : 4)
Abu Tsa’labah al Khasyani juga pernah berkata : “Aku
pernah mendatangi Rasulullah saw, lalu bertanya “Rasulullah kami bisa
berburu didarat. Aku berburu dengan busurku, dan kadang berburu dengan
dengan anjingku yang terlatih maupun anjingku yang tidak
terlatih.katakanlah kepadaku, apa yang selayaknya aku lakukan ? Beliau
menjawab, “tentang apa yang aku ingat, bahwa kalian berburu di darat,
maka engkau berburu dengan busurmu, kemudian sebutlah asma Allah setiap
(melepas busur) pada buruanmu, lalu makanlah. Hewn yang engkau buru
dengan anjingmu yang terlatih dan engkau sebut asma Allah (ketika
melepas anjing)kepada buruanmu, makanlah. Adapun hewan yang engkau buru
denagn anjing yang tidak terlatih , sembelihlah kemudian makanlah. “ (HR An nasai dan Ibnu Majah)
4) Makelar (samsara) dan pemandu (dalalah)
Samsar
adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan
mendapatkan upah. Sebutan ini juga bisa digunakan bagi orang yang
memandu orang lain (dalal). Dari Qais bin Abi Gharzat al kinani yang mengatakan :
“kami
pada masa Rasulullah saw biasa disebut samasirah. Kemudian suatu
ketika kami bertemu dengan Rasulullah, lalu menyebut kami dengan
sebutan yang lebih pantas dari sebutan itu. Beliu bersabda, “ wahai para
pedagang, sesungguhnya jual-beli itu bisa mendatangkan omongan yang
bukan-bukan dan sumpah palsu. Karena itu, kalian harus memperbaikinya
dengan kejujuran” (HR. Abu Daud)
5) Mudharabah
Mudharabah
adalah kerjasama antar dua orang atau lebih dalam suatu perdagangan.
Modal dari satu pihak sedang pihak lain memberikan tenaga. Hasil dari
keuntungan akan di bagi sesuai kesepakatan. Hasil inilah yang sah untuk
dimiliki. Oleh karena itu mudharabah termasuk dari bekerja. Rasulullah
bersabda :
“Perlindungan
Allah SWT diatas dua orang yang melakuakan kerjasama selama mereka
tidak saling mengkhianati. Jika salah seorang dari mereka saling
mengkhianati mitranya, maka Allah akan mencabut perlindungan Nya
terhadap keduanya.” (HR. DaruQutni)
6) Musaqat
Musaqat adalah
seseoarang menyerahkan kebunnya untuk dikelola oleh orang lain merawat
dan mengurus kebun tersebut, yang darinya akan mendapa bagi hasil dari
hasil panennya. Dengan demikian musaqat merupakan termasuk dalam
kategori bekerja yang dibolehkan oleh syariat. Sebagimana Abdullah bin
Umar mengatakan :
“sesungguhnya Rasulullah pernah memperkerjakan penduduk Khaibar dengan upah berupa buah atau tanaman dari hasil yang diperoleh.” (HR. Muslim)
7) Ijarah
Yang
termasuk kedalam kategori bekerja adalah Ijarah, yaitu kontrak kerja.
Artinya mengontrak tenaga para pekerja atau buruh yang bekerja untuk
dirinya. Allah berfirman:
“Apakah
mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan diantara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, serta meninggikan
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka memperkerjakan sebagian yang lain.” (QS. Az Zukhruf: 32)
B. Warisan
Diantara
sebab-sebab kepemilikan adalah warisan. Sifatnya yaitu kepemilikan akan
harta secara turunan kepemilikan dari orang tua. Akan hal ini Allah
telah jelaskan dalam hukum-hukum yang sudah sangat jelas. Allah
berfirman:
“Allah
mensyariatkan kepada kalian tentang (pembagian harta pusaka untuk0
anak-anak kalian, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan; jika anak itu semuanya wanita lebih
dari dua orang maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan.” (QS. An Nisa : 11)
C. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
Diantara
sebab-sebab kepemilikan adalah adanya kebutuhan akan harta untuk
menyambung hidup. Sebab, kehidupan adalah hak bagi setiap orang.
Sesorang wajib untuk mendapatkan kehidupan sebagi haknya. Salh satu hal
yang dapat menjamin seseorang untuk hidup adalah denga bekerja, untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Namun jika ia tidak dapat bekerja,
maka Negara bertanggung jawab untuk mengusahakan ia dapat bekerja. Jika
ia tidak dapat bekerja karena terlampau tua, maka orang-orang kaya atau
Negara wajib untuk memenuhi kebutuhannya. Namun jika hal itu tidak
terpenuhi, hingga ia kelaparan, maka dibolehkan baginya untuk mengambil
apa saja yang dapat digunakan untuk menyambung hidupnya. Jika hidup
menjadi sebab untuk mendapatkan harta, maka syariat tidak akan
menganggap itu sebagi tindakan mencuri. Abu Umamah menuturkan bahwa
Rasulullah bersabda:
“Tidak ada hukum potong tangan pada masa-masa kelaparan.” (HR. al Khatib Al Bagdad)
D. Pemberian harta Negara untuk rakyat
Yang
juga termasuk kedalam sebab kepemilikan adalah pemberian Negara kepada
rakyat yang diambil dari baitulmal, baik dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan mereka atau memanfaatkan kepemilikan mereka. Dapat berupa
pemberian tanah untuk digarap, atau melunasi utang-utang mereka. Pada
masa Khalifah Umar bin Khatab pernah memberikan para petani di Irak
harta dari Baitul Mal, yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah
pertanian mereka, serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta
imbalan dari mereka.
E. Harta yang diperoleh tanpa harta dan tenaga
Yang termasuk kedalam kategori harta yang diperoleh dari tanpa harta dan tenaga ada lima, yaitu :
1. Hubungan
antara individu satu sama lain, baik ketika masih hidup seperti Hibah
dan Hadiah, atau pun ketika sepeninggal mereka, seperti wasiat.
2. Menerima
harta sebagai gantirugi dari kemudharatan yang menimpa seseorang,
seperti Diyat (denda) atas oaring yang terbunuh atau terluka.
3. Memperoleh mahar berikut harta yang diperoleh melalui akad nikah
4. Barang temuan (luqathah)
5. Santunan untuk Khalifah atau orang-orang yang disamakan statusnya.
MACAM-MACAM KEPEMILIKAN
Para ulama fiqh membagi kepemilikan kepada dua bentuk,yaitu:
a. Al milk At Tamm (milik sempurna)
Yaitu
apabila materi dan manfaat harta itu dimiliki sepenuhnya oleh
seseorang, sehingga seluruh hak yang terkait dengan harta itu dibawah
penguasaannya. Milik seperti ini bersifat mutlak, tidak dibatasi waktu
dan tidak boleh digugurkanorang lain. Ciri-cirinya diantaranya, (a).
sejak awal kepemilikan terhadap materi dan manfaat bersifat sempurna.
(b) Materi dan manfaatnya sudah ada sejak sejak pemilikan itu. (c)
Pemilikannya tidak dibatasi waktu. (d) kepemilikannya tidak dapat
digugurkan.
b. Al Milk An Naqish (kepemilikan tidak sempurna)
Yaitu
apabila seseorang hanya menguasai materi harta itu, tetapi manfaatnya
dikuasai orang lain. Adapun cirri-ciri nya adalah, (a) Boleh dibatasi
waktu,tempat, dan sifatnya. (b) Tidak boleh diwariskan. (c) orang yang
menggunakan manfaatnya wajib mengeluarkan biaya pemeliharaan
PERBANDINGAN HAK MILIK PRIBADI DALAM SISTEM EKONOMI:
ISLAM, KAPITALISME, DAN SOSIALISME
Dalam
system ekonomi kapitalisme kepemilikan individu merupakan darah
perekonomiannya. Oleh karena itu, bagi mereka yang mampu menguasai
Faktor produksi maka dialah yang menguasai perekonomian. Ekonomi
kapitalis berdiri berlandaskan pada hak milik individu. Ia akan
memberikan kebebasan sebesar-besarnya pada individu untuk menguasai
barang-barang yang produktif maupun yang konsumtif, tanpa ada ikatan
atas kemerdekaannya untuk memiliki, membelanjakan, mengembangkan, maupun
mengeksploitasi kekayaan. Falsafah yang digunakan adalah falsafah
individualism, yang memandang bahwa individu merupakan proses dari
segalanya. Dalam sisitem ini setiap orang di beri kebebasan untuk
mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya (kuantitas), dan kebebasan
cara memperolehnya.
Sedangkan
dalam sisitem ekonomi sosialis selalu mengedepankan pada hak milik umum
atau hak milik orang banyak yang diperankan oleh Negara atas alat-alat
produksi. Tidak mengakui hak kepemilikan individu, jika hal itu mash
menyangkut masalah kepemilikan umum. Negara adalah satu-satunya pemilik
alat produksi. Falsafah yang menjadi landasannya adalah falsafah
kolektivisme. Falsafah ini beranggapan bahwa dasar pokok adalah banyak
orang. Individu diberikan batasan dalam memperoleh jumlah kekayaan,
sedang dalam hal cara memperolehnya ia diberikan kebebasan.
System
kepemilikan dalam Islam memiliki kekhususan yang berbeda, dan ia sanagt
relevan dengan kehidupan masyarakat. Jika seseorang diberikan kebebasan
dalam jumlah dan cara memperoleh harta, maka akan terjadai kesenjangan
social. Karena, yang memiliki modal akan berkuasa dan menindas yang
miskin. Sedang jika seseorang di brikan batasan dalam memperoleh harta
dan kebebasan cara memperoleh, maka akan berakibat pada lemahnya etos
kerja. Islam hadir dengan system yang berbeda, Islam mengakui hak milik
individu dan hak milik kolektif. Ia memberikan lapangan tersendiri
terhadap keduannya. System ini didirikan atas lendaan kebebasan ekonomi
yang terikat, artinya setiap individu diberikan kebebasan untuk mencari
kekayaan sebanyak-banyaknya, namun dengan cara-cara yang telah
ditentukan dalam syariat.
DAFTAR REFERENSI
1. Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Persfektif Islam, Yogyakarta, BPFE-YOYAKARTA, 2004
2. An Nabhani,Taqyudin, Sistem Ekonomi Alternatif Persfektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti. 2009
3. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah. Jakarta, Gaya Media Pratama. 2000
0 comments :
Post a Comment