hari : Rabu, 27 juni 2012 Pkl. 22:15
KEPEMILIKAN UMUM DAN NEGARA DALAM EKONOMI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang.
Hak milik atas benda adalah salah satu fenomin yang senatisa ada, hingga
dipandang sebagai salah satu aspek kebutuhan esensial dalam hidup
manusia. Dalam dunia hewan kita juga mendapatkan yang dinamakan hak
milik, begitu juga seorang manusia.
Demikianlah Allah menciptakan hewan dan manusia yang memberikan naluri
kepada setiap makhluknya guna mempertahankan hidupnya. Kebutuhan hidup
manusia ataupun hewan semakin berkembang dalam setiap detik, setiap
harinya, keinginan untuk memiliki segala sesuatu yang dirasakan yang
dirasakan menjadi kebutuhan hidupnya sangat jelas. Hal inilah yang
menjadikan manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam hidupnya.
Kepemilikan dalam pandangan islam tidaklah bersifat mutlak/
absolute(bebas tanpa kendali dan batas). Sebab didalam berbagai
ketentuan dalam berbagai ketentuan hukum dijumpai beberapa batasan dan
kendali yang tidak boleh dikesampingkan oleh seoarang muslim dalam
pengelolaan dan pemanfaatan harta benda miliknya.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas, pemakalah menyusun beberapa permasalahan, antara lain:
1. Apa pengertian hak milik umum dengan hak milik negara dalam ekonomi islam?
2. Bagaimana definisi kepemilikan dalam ekonomi islam?
3. Apa tujuan kepemilkan umum dan Negara dalam ekonomi islam?
4. Bagaimana konsep barang-barang hak milik dalam ekonomi islam?
5. Apa saja kaidah-kaidah hak milik dalam ekonomi islam?
6. Bagaimana konsep maslahah dalam hak milik umum dan negara islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kepemilikan
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan
mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal
ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan
Nasrani, tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan
mengorganisir umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun
material.
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya
adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala
yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara
keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu".
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
"Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian
dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..."
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya hanya
menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai
dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan
harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa
harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa "pada mulanya" masyarakatlah yang
berwenang menggunakan harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah
menganugerahkan sebagian darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi)
yang mengusahakan perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Sehingga sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat
dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT untuk
memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan atas suatu harta
haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara' yang tertuang dalam
al-Qur'an, al-Sunnah, ijma' sahabat dan al-Qiyas.
Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala
hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara
mengelola dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan
kekayaan tersebut di tengah-tengah manusia secara detail melalui
ketetapan hukum-hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang
menyangkut masalah ekonomi dalam Islam, dibangun atas kaidah-kaidah umum
ekonomi Islam (al-qawaid al-'ammah al-iqtisadi al-Islamyyah) yang
meliputi tiga kaidah, yakni:
• kepemilikan (al-milkiyyah),
• mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
• distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi' al-tharwah bayna al-nas).
Istilah milik berasal dari bahasa arab yaitu milk, yang artinya milik.
Menurut Hasby as-shiddieqy, dalam arti bahasa adalah memiliki sesuatu
dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya.
Menurut istilah, milik dapat didefinisikan, suatu ikhtisas yang
menghalangi yang lain, menurut syari’at, yang membenarkan pemilik
ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali
ada penghalang.
Kata penghalang dalam definisi diatas maksudnya adalah sesuatu yang
mencegah orang yang bukan pemilikan sesuatu barang untuk mempergunakan/
memnfaatkan dan bertindak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari
pemiliknya. Sedangkan pengertian penghalang adalah sesuatu ketentuan
yang mencegah pemilik untuk bertindak terhadap harta miliknya.
B. KONSEP ISLAM TENTANG HAK MILIK
Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT
Menurut ajaran Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan
mutlak atas alam semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan
rezeki yang tak terhitung jumlahnya.
Manusia dengan kepemilikannya adalah pemegang amanah dan khalifah
Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik Allah, manusia
memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah atau
pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya
sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena
manusia mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia
harus bisa menjamin kesejahteraan bersama dan dapat
mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.
Ikhtiyar dalam bentuk bekerja, bisnis dan usaha lain yang halal adalah merupakan sarana untuk mencapai kepemilikan
Dalam Islam, kewajiban datang lebih dahulu, baru setelah itu adalah
Hak. Setiap Individu, masyarakat dan negara memiliki kewajiban
tertentu. Dan sebagai hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, setiap
orang akan memperoleh hak-hak tertentu. Islam sangat peduli dalam
masalah hak dan kewajiban ini. Kita diharuskan untuk mencari harta
kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan jalan yang halal dan tidak
menzalimi orang lain. Selain itu, Kita juga tidak dibiarkan bekerja
keras membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa
balasan yang setimpal.
Dalam kepemilkan Pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi
Islam mengakui hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta
itu diperoleh dengan jalan yang halal. Islam melarang setiap orang
menzalimi dan merongrong hak milik orang lain dengan azab yang pedih,
terlebih lagi kalau pemilik harta itu adalah kaum yang lemah, seperti
anak yatim dan wanita.(Qs :Adzariyaat : 19, dan Qs. Al-Israa : 26).
C. DEFINISI HAK MILIK
1. Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah firman Allah SWT
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang
dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).
2. Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ” kewenangan atas
sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai
dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda
tersebut kecuali dengan alasan syariah”.
3. Ibn Taimiyah mendefinisikan sebagai “ sebuah kekuatan yang
didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi kekuatan
itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. “ Misalnya, sesekali
kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual
atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau
menggunakannya untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali tempo,
kekuatan itu tak lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.
D. JENIS-JENIS HAK MILIK dalam ISLAM
1. Kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah)
Pengerian kepemilikan umum sendiri adalah harta yang telah ditetapkan
hak miliknya oleh as-syari’ (Allah), dan menjadikan harta tersebut
milik bersama. Yusanto berpendapat bahwa seseorang atau sekelompok kecil
orang dibolehkan mendaya gunakan harta tersebut, akan tetapi mereka
dilarang untuk menguasainya secara pribadi.
Izin al-shari' kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan
benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum
adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari' sebagai
benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh
dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap
individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.
Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu:
a. Harta milik umum jenis pertama.
Harta milik umum jenis pertama adalah barang tambang(sumber alam) yang
jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang diprediksi oleh para
ahli pertambangan mempunyai jumlah yang sangat berlimpah. Hasil dari
pendapatannya merupakan hasil milik bersma dan dapat dikelola oleh
Negara, atau Negara menggaji tim ahli dalam pengelolaannya.
Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas dapat
digolongkan kedalam milik pribadi. Hal ini seperti Rasulullah SAW,
membolehkan bilal bin Harist al-Mazany memiliki barang tambang yang
sudah ada (sejak dahulu) dibagian wilayah hijaz, pada saat itu bilal
telah meminta kepada Rosulullah agar memberikan daerah tambang tersebut
kepadanya, dan beliaupun memberikannya kepada bilal dan boleh
dimilikinya.
Oleh karena itu pertambangan emas, perak dan barang tambang lainnya yang
jumlah(depositnya) sangat sedikit tidak ekonomis dan bukan untuk
diperdagangkan maka digolongkan milik pribadi. Seseorang boleh
memilikinya seperti halnya juga Negara boleh memberikan barang tambang
seperti itu kepada mereka. Hanya saja mereka membayar khumus (seperlima)
dari yang diproduksinya kepada baitul mal, baik yang dieksploitasinya
itu sedikit ataupun banyak.
Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak
terbatas, menurut Abdullah, tergolong pemilikan umum bagi seluruh
rakyat, sehingga tidak boleh dimiliki oleh seorang atau beberapa orang.
Tidak boleh diberikan kepada seorang ataupun orang tertentu.
Menurut al-Maliki, tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka
(terdapat dipermukaan bumi), yang ekploitasinya tidak memerlukan usaha
yang berat, seperti garam, dan (batu) celak mata, dengan barang tambang
yang terdapat diperut bumi, yang eksploitasinya memerlukan usaha yang
berat, seperti emas, perak, besi, tembaga, maupun yang bentuk cair
seperti minyak bumi, atau berbentuk gas seperti gas alam.
Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang berada dalam perut bumi
baik berbentuk cairan maupun padat dan memerlukan peralatan dan
industri. Maka Negara wajib mengeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan
rakyat, karena tergolong harta milik umum.
Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang (depositnya)
berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari pemilik umum
adalah hadist yang diriwayatkan dari Abidh bin hamal sl-mazany:
اَنهُ وَفَدَ رَسُولُ اللهِ صلي الله عليهِ وسلم. فستق طعه المِلح فقطع
له, فلما أن ولى لاقال رجل من المجلس أتدري ما قطعت لهُ؟ انما قطعت لهُ
الماء العد. قال فلنتزعه منهُ.
“Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah,
maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah
seorang laki-laki yang ada dalam majlis, “apakah engkau mengetahui apa
yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau
berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir” akhirnya beliau
bersabda: (kalau begitu) tarik kembali darinya” (HR abu daud)
Yang perlu diketahui, apabila barang tambang dilakukan dengan
menggunakan alat-alat dan industry yang dimiliki Negara, maka
kepemilikan atas peralatan dan industry tersebut boleh tetap menjadi
milik Negara, namun Negara boleh mengubahnya menjadi milik umum. Dan
apabila eksploitasi barang tambang yang dilakukan Negara menggunakan
peralatan dan industry milik perorangan, maka yang bersangkutan
memperoleh upah sebagai ganti rugi usaha/ atau jasa dan manfaat yang
diberikannya, atau alat yang disewakannya. Namun, yang perlu
diperhatikan disini, jika kepemilikan seseorang atas alat-alat dan
industri ini bukan berarti boleh melakukan eksploitasi barang tambang
yang jumlahnya banyak untuk kepentingan mereka sendiri.
Dengan demikian, eksploitasi barang tambang yang jumlahnya banyak, boleh
menggunakan peralatan dan industry milik Negara dan industri milik
individu.
Tipe kedua dari hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif).
Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam islam dan tidak
terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam islam tentu saja memiliki
makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki persamaan langsung dengan
apa yang dimasud oleh sistem kapitalis, sosialis dan komunis.
Maksudnya, tipe ini memiliki bentuk yang berbeda beda. Misalnya : semua
harta milik masyarakat yang memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas
berbagai macam benda yang berbeda-beda kepada warganya. Sebagian dari
benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di bawah
pengawasan umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada
individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan
milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum.
Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah
wakaf.
b. Harta milik umum jenis kedua.
Harta milik umum jenis kedua adalah sarana umum diperlukan bagi seluruh
rakyat yang diperluakan dalam pemenuhan hidup sehari-hari, yang tidak
akan menyebabkan perpecahan, seperti air. Rasulullah telah menjelaskan
mengenai sifat-sifat saran umum, dalam hal ini dari hadist Ibnu Abbas,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
المسلمون شركاء في ثلاث في الماء,والكلاء,والنارِ
“kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api”
Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali diperbolehkan Rasulullah umtuk seluruh manusia.
Harta ini tidak terbatas yangdisebutkan pada hadist diatas, tetapi
meliputi setiap benda yang didalamnya terdapat sifat-sifat sarana umum.
Mencermati secara tepat, maka apa yang disebut sarana umum adalah bahwa
seluruh manusia membutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan jika
sarana tersebut hilang maka manusia kesusahan dalam mencarinya. Setiap
alat yang dipergunakan di dalamnya, karena hukum dan status
kepemilikannya sama, yaitu sebagai milik umum. Demikian juga alat-alat
pembangkit listrik yang dibangun diatas air (sumber) keperluan seperti
saluran dan sungai, tiang-tiang penyangganya, dan alat-alat lain yang
diperlukan, sebab alat-alat ini menghasilkan listrik dari hasil umum,
sehingga status hukum alat-alat ini juga sama milik umum. Menurut Labib,
jika alat pembangkit listrik merupakan bagian dari kepemilikan umum
maka tidak boleh dimiliki oleh perseorangan, hal ini disebabkan
penguasaan dalam kepemilikan umum dilarang oleh Negara. Dan begitu juga
sebaliknya, dalam artian jika semua sarana dimilki individu atau
perusahaan maka boleh memilikinya secara pribadi.
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh
karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang
membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Hal tersebut juga
berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api,
instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air
dan pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan
umum itu sendiri sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki
secara pribadi.
c. Harta milik umum jenis ketiga.
Harta milik yang ketiga adalah harta yang keadaannya asal pembentukannya
menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi. Menurut
al-Maliki, hak milik umum jenis ini jika berupa sarana umum seperti
halnya kepemilikan jenis pertama, maka dalil yang mencakup saran umum.
Hanya saja jenis kedua ini menurut asal pembentukannya menghalangi
seseorang untuk memilikinya, sehingga misalnya boleh memiliki secara
hajat keperluan orang banyak(umum).
Demikian juga halnya dengan jalan umum, Rasulullah SAW menyatakan bahwa
manusia berhak atas jalan umum tersebut, artinya mereka berhak untuk
melewati jalan tersebut, dan menjauhkan duri/ batu dari jalan umum
adalah sedekah.
Jika kita melihat faktanya, kondisi asal pembentukannya menghalangi
seseorang untuk menghalangi seseorang untuk menguasai dan memilikinya.
Seperti tentang jalan umum yang dibuat untuk seluruh manusia, dan mereka
bebas untuk melewatinya, dan seorang pun tidak boleh memilikinya.
Larangan ini bersifat tetap. Demikian juga tidak boleh menguasai/
memagari sesuatu yang diperuntukkan bagi semua manusia, karena
Rasulullah SAW bersabda:
الاَّ لله ولرسولهِلاحمىَ
“Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya”
Dengan kata lain tidak ada penguasa/ pemagaran atas harta milik umum
kecuali oleh Negara. Makna hadist tersebut adalah tidak boleh seseorang
menguasai sesuatu yang merupakan milik semua manusia untuk dirinya
sendiri. Karena api, tiang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air,
pipa-pipa penyalur air yang keadaannya tetap menjadi milik jalan umum,
adalah milik jalan umum. tindakan mengambil alih sebagian jalan umum
secara permanen dan mengkhususkan individu menguasainya secara
terus-menerus sama saja dengan pengusaan, kecuali oleh Negara. Oleh
karena itu, semua yang disebutkan tadi adalah milik umum.
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh
dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh
hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu
untuk mengeksploitasinya tetapi pewnguasa wajib membiarkannya sebagai
milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya,
memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya
di bayt al-Mal.
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat
terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini
didasarkan kepada hadith nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith
al-Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada dibagian Najd dan
Tihamah. Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari yang
diproduksinya kepada bayt al-Mal.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta turunannya seperti
bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang
rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan
syara’ sebagai kepemilikan umum. Negara mengatur produksi dan distribusi
aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh
negara dapat dilakukan dengan dua cara, yakni :
Pertama, Pemanfaatan Secara Langsung oleh Masyarakat Umum.
Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, adalah
benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap
individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur, mengalirkan air
sungai untuk pengairan pertanian, juga menggembalakan hewan ternaknya di
padang rumput milik umum.
Bagi setiap individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai peralatan
yang dimilikinya untuk memanfaatkan sungai yang besar, untuk menyirami
tanaman dan pepohonan. Karena sungai yang besar cukup luas untuk
dimanfaatkan seluruh masyarakat dengan menggunakan peralatan khusus
selama tidak membuat kemudharatan bagi individu lainnya. Sebagaimana
setiap individu diperbolehkan memanfaatkan jalan-jalan umum secara
individu, dengan tunggangan, kendaraan. Juga diperbolehkan mengarungi
lautan dan sungai serta danau-danau umum dengan perahu, kapal, dan
sebagainya, sepanjang hal tersebut tidak membuat pihak lain yaitu
seluruh kaum muslim dirugikan, tidak mempersempit keluasan jalan umum,
laut, sungai, dan danau.
Kedua, Pemanfaatan Di Bawah Pengelolaan Negara.
Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah diman¬faatkan secara
langsung oleh setiap individu masyarakat—karena membu¬tuhkan keahlian,
teknologi tinggi, serta biaya yang besar—seperti minyak bumi, gas alam,
dan barang tambang lainnya, maka negaralah yang berhak untuk mengelola
dan mengeksplorasi bahan tersebut. Dimana hasilnya nanti akan dimasukkan
ke dalam kas baitul mal. Khalifah adalah pihak yang berwenang dalam
pendistribusian hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya
demi kemashlahatan umat.
Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh menjualnya
kepada rakyat—untuk kon¬sumsi rumah tangga dengan men¬dasarkan pada asas
mencari keun¬tungan semata. Namun diperbolehkan menjualnya dengan
mendapatkan keuntungan yang wajar darinya jika dijual untuk keperluan
produksi komersial. Sedangkan jika kepe¬milikan umum tersebut dijual
kepada pihak luar negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari
keuntungan.
Dari hasil keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum itu kemudian
didistribusikan dengan cara sebagai berikut: Pertama, dibelan¬jakan
untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan opera¬sional badan
negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari
segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi,
pemasaran dan distribusi. Pengam-bilan hasil dan pendapatan harta
pemilikan umum untuk keperluan ini, seperti pengembalian bagian zakat
untuk keperluan operasi para amil yang mengurusi zakat (dalam QS. At
Taubah: 60).
Kedua, dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hal ini
khalifah boleh mem¬bagikan air minum, listrik, gas, minyak tanah, dan
barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis
atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang
tidak memberatkan. Barang-barang tam¬bang yang tidak dikonsumsi rakyat,
misalnya minyak mentah, dijual ke luar negeri dan keuntungannya termasuk
keuntungan pemasaran dalam negeri dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk
uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah
sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya. Juga untuk menutupi tanggungan
Baitul Mal yang wajib dipenuhi lainnya, seperti anggaran belanja untuk
jihad fi sabilillah.
E. Kepemilikan Negara (milkiyyah daulah)
Menurut yusanto, mendefinisikan harta milik Negara sebagai hak seluruh
rakyat, yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala Negara, dimana dia
bisa memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan kebijakannya.
Makna pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah adanya kekuasaan yang
dimiliki kepala Negara untuk pengelolaannya. Hak milik Negara semisal
harta yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik Negara.
Harta milik Negara
- padang pasir
- Tanah endapan sungai
- Ash-shawafi
- Bangunan dan blairung
1. Padang pasir, Gunung, Pantai, dan Tanah Mati yang tidak ada pemilikinya
Padang pasir, gunung, lembah, tanah mati yang tak terurus, dan belum
pernah ditanami tanaman atau tudak terurus atau tidak dikelola
pengelolanya, maka tanah tersebut menjadi milik Negara.
انَّ رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم أقطعَ بلال ابن الحارث المزَني ما بين البحرِ والصخرِ
“bahwa Rasulullah SAW member bilal bin harits al-Mazani(daerah) antara laut dan padang pasir”
Hadist ini menunjukkan bahwa padang pasir, gunung, lembah, dan tanah mati yang tidak dimiliki seseorang menjadi milik Negara.
Milik Allah dan Rasul artinya milik Negara, dalam artian Rasulullah
boleh mengaturnya, mengatur urusan dan pembagianny, dan izin untuk
menghidupkan dan membangunnya. Dengan keterangan ini, jelas bahwa padang
pasir, gunung, dan tanah mati adalah milik Negara. pemerintah yang
mengatur sesuai dengan aturan yang berlaku dinegaranya sesuai kebaikan
dan kemaslakhatan kaum muslim.
2. Tanah Endapan Sungai
Yang dimaksud tanah endapan adalah tanah-tanah yang tertupi air, seperti
yang terdapat diantara kufah dan basrah. Tanah-tanah tersebut tertupi
dengan air Eufrat dan tigris, daerah yang terapit oleh dua sungai itu
tergenang oleh air hingga maenutupi kawasan tersebut sehingga tanah itu
tidak layak lagi untuk pertanian. Dan tanah itu tidak cocok untuk
pertanian karena air menggenangi tanah tersebut, maka tanah itu termasuk
tanah mati, tanah itu tetap menjadi milik baitul mal dan milik negar,
selama belum ada yang memiliki.
3. Asy-Syawafis
Tanah yang dikumpulkan khalifah dari tanah-tanah negri taklukan dan
ditetapkan untuk baitul mal. Yaitu tanah-tanah yang ditaklukan yanag
dahulunya milik negaara yang ditaklukan, milik penguasa atau para
pemimpin negara itu, tau tanah orang yang terbunuh dalam medan perang,
atau tanh orang yang lari dalam peperangan dan meninggalkan tanahnya,
maka kholifah yang mengatur semua itu untuk kebaikan dan kemaslakhatan
Islam dan kaum muslim.
4. Bangunan dan Blairung
Yaitu setiap bangunan, yang dikuasai ole negara-negara yang sebelumnya
dipakai untuk struktur lembaga-lembaga yang dilakukan untuk urusan
organisasi-organisasi yang dan badan-badan pengawas, perguruan tinggi,
sekolah-sekolah, rumah sakit, atau bangunan yang dimiliki negara itu.
Termasuk pula pemilik negara adalah setiap bangunan yang dibangun negara
dan dibeli dari harta baitul mal, lalu diperuntukkan bagi aparat/
lembaga negara, untuk kepentingan negara dan biro milik negara dan
sarana apapun yang dibangun negara. Selain itu setiap bangunan atau
blairung yang dihadiahkan atau dihibahkan kepada negara, atau
diwasiatkan kepada negara. Atau yang tida memiliki ahli waris, atau
milik orang murtad yang mati atau dihuku mati karena murtadnya, semua
itu milik negara.
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan
negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan
pandangan ijtihadnya adalah:
1. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang
dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa
peperangan) dan khumus.
2. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang
diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada
kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4. Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil
pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan
yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
7. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
9. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.
Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber
penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Misal, untuk menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan,
regenerasi moral dan tatanan masyarakat yang terjamin kesejahteraannya.
Menurut Ibn taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, barang
rampasan perang (ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan
sumber pengahsilan dengan mengenakan pajak kepada warga negaranya,
ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Demikian pula, berlaku
bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan
denda termasuk sumber kekayaan negara.
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala negara
hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban negara
untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh karena itu, sangat
dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah
merupakan kewajiban negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras
bagi kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial
dan mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.
F. GARIS PERBEDAAN
Dari uraian global tentang sistem ekonomi Islam tersebut maka akan
nampak perbedaan yang sangat mendasar dengan sistem ekonomi yang lain,
baik kapitalisme maupun sosialisme. Sistem ekonomi Islam tidak
membiarkan harta kekayaan yang ada di bumi ini “diperebutkan” secara
bebas sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme. Akibat dari persaingan
bebas dalam ekonomi kapitalisme, sebagaimana telah umum difahami telah
mengakibatkan pihak yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin
semakin miskin. Kita tentu tidak terlalu kaget jika ada 3 orang terkaya
di dunia ini, ternyata kekayaannya lebih besar dari gross domestic
product (GDP) 48 negara termiskin dunia. Itu berarti setara dengan
seperempat jumlah total negara di dunia. Itu adalah hasil penelitian
Brecher dan Smith. Demikian juga, tidak kalah hebatnya, menurut
penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia,
setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan
pendapatan dari 3 milyar manusia (Triono,2005).Itulah “karya” nyata dari
ekonomi kapitalisme.
Demikian juga, sistem ekonomi Islam juga dapat dibedakan dengan dengan
jelas terhadap sistem ekonomi sosialisme. Hal itu disebabkan, di dalam
sistem ekonomi Islam tetap memberi ijin kepada individu-individu untuk
memiliki harta kekayaan, sebanyak apapun, sepanjang harta itu diperoleh
melalui jalan yang dihalalkan oleh Islam. Jika kepemilikan individu
tidak diakui, maka akibatnya dapat dilihat pada sistem ekonomi
sosialisme, yaitu menyebabkan gairah kerja dan semangat berproduksi
menjadi hilang. Zain (1988), memberi bukti bahwa pengakuan terhadap
kebabasan kepemilikan individu memang dapat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem pertanian individual di
Eropa Barat dibanding dengan sistem komunal di Rusia dan RRC. Sistem
pertanian komunal di Rusia dan RRC produksinya selalu tidak pernah
mengungguli produksi pertanian individu di negara-negara Eropa Barat.
Fakta-fakta menunjukkan bahwa produksi pertanian di kedua negara
tersebut cenderung selalu mengalami kegagalan.
Keunggulan dari sistem ekonomi Islam terutama dapat dilihat dari adanya
kepemilikan umum. Sumber-sumber daya alam yang besar seperti hutan,
tambang, minyak, gas, batubara, listrik, air dsb. adalah termasuk dalam
kategori kepemilikan umum, sehingga seluruh hasil dari sumber daya alam
tersebut harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki dari
harta tersebut. Harta tersebut bukanlah milik negara, bukan milik
individu, bukan milik swasta,apalagi milik swata asing sebagaimana fakta
terjadinya “perampokan” dan “penjarahan” yang saat ini banyak dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan asing dari negara maju kepada negara
berkembang.
Afzalur Rahman, “DoktrinEkonomi Islam I”, Dana Bakti Wakat, 1997, Yogyakarta.
A. azhar basyir, garis besar system ekonomi islam, Yogyakarta: BPFE, 1987
Suhrowardi lubis, hukum ekonomi islam,Jakarta: sinar grafika, 2000
Bastian, Indra.,
Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi, Jakarta: Salemba Empat, 2002.
al-Farra', Abu Ya'la.,
al-Ahkam al-Sultaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Majalah Investor, edisi 50, 13-27 Maret 2002,.
al-Maliki, Abd al-Rahman.,
M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam, jakarta: pt raja grafindo persada,2007
Politik Ekonomi Islam, terj. Ibn Sholah, Bangil: al-Izzah, 2001.
al-Mawardi, abu al-Hasan.,
Usul al-Iqtisadi al-Islami, Damaskus: Dar al-Qalam, 1999.
Nafzinger, E. Wyne.,
The Economics of Developing Countries, Upper Saddle River NJ: Pretice Hall International, 1997.
Quraish, Shihab, M.,
Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2003.
Sembel, Roy H. M.,
"Privatisasi BUMN di Indonesia" dalam Mengembangkan Strategi Ekonomi, ed. Sularso Sopatar et. al., Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Yayasan Wahana Dharma Nusa, 1998.
al-Shawkani, Muhammad.,
Nayl al-Awtar, jilid 6, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Ichlasul Amal Rangga Winata,Konsep Kepemilikan Dalam Islam dalam http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html Konsep Kepemilikan Dalam Islam.
Diah melani, Saturday Reguler Class, Majoring Sharia Accounting., “Menggagas Bisnes Islami” http://dimel2002.multiply.com/journal/item/11
M.TaufikN.T,“SumberPemasukanNegaradalam Islam”dalam http://mtaufiknt.wordpress.com/2010/11/09/sumber-pemasukan-negara-dalam-islam/
0 comments :
Post a Comment